Ogah Berhijab

"Yang berhijab panjang bertemu dengan yang berhijab panjang lagi, mereka salaman terus saling berpelukan. Kalau yang berhijab panjang bertemu dengan yang berhijab pendek, mereka salaman terus cipika-cipiki (cium pipi kanan-kiri) saja. Kalau yang berhijab panjang ketemu dengan yang gak berhijab, salaman saja gak mau, non."
Itu kata sahabat saya, tentang perempuan-perempuan yang berhijab di kampusnya. Itu juga yang buat saya ogah berhijab. Gimana bisa menularkan semangat berhijab kalau ada gap atau barrier?

Kenapa sih ada gap atau barrier antara yang berhijab dan belum berhijab?
Mungkin...ini pengalaman saya, karena yang berhijab melihat yang belum berhijab itu, seperti melihat " penggoda iman" atau "pendosa"...orang yang gak dapat hidayah...
Sementara, yang belum berhijab, melihat yang berhijab, seperti "sok suci" atau " sok alim".
Entah siapa yang mulai duluan, saling sindir, saling nyinyir, saling melabeli... padahal situasi itu gak enak loh..

Jadi teringat seorang sahabat yang saya kenal ketika anak sulung saya masih TK. Dia memakai hijab dan gamis yang panjang, gamisnya sampai menyapu jalanan. Saya enggan untuk bertegur sapa, apalagi berbicara dengannya. Karena biasanya, wanita-wanita yang berhijab panjang itu mengeksklusifkan dirinya, dan hanya mau bergaul dengan sesama yang berhijab panjang.
Tapi perkiraan saya salah, sahabat saya ini justru menyapa saya lebih dulu dan langsung duduk di sebelah saya, dia friendly sekali...tanpa terasa kami jadi dekat.
Dia seorang ibu yang sangat sibuk dengan tiga anak laki-lakinya, sibuk dengan bisnis furniture-nya, dan sibuk mengurus rumah tangganya, terlebih karena suaminya hanya mau makan hewan yang disembelih langsung dan harus dimasak oleh istrinya sendiri. Jika melihat dari penampilannya, tidak terbayang sahabat saya itu bisa cekatan mengurus semuanya.

" Mam, biasanya kalau perempuan berhijab panjang gak mau loh bergaul dengan  yang gak berhijab?", Saya beranikan diri tuk bertanya langsung.
" Aah, kenapa begitu? Saya dulu dandan, modis dan seksi loh, lebih modis dari Mama Nisa (panggilan saya) malah, pakai rok pendek & baju ketat...Hahaha", dia tertawa mengingat masa mudanya.
" Sebelum bertemu dengan papanya anak-anak, dulu saya bekerja jadi sekretaris. Waktu berjalan, setiap orang pasti berproses, saya yang belum berhijab jadi berhijab. Kalau saya sih mau berteman dengan siapa saja."
Sikapnya yang tidak memandang rendah orang lain, membuat pikiran saya tentang wanita berhijab jadi sedikit berubah, tapi saya masih ogah berhijab.

Tidak mudah bagi saya untuk berhijab, keluarga besar yang keturunan Cina dan mayoritas beragama Kristen-Katolik, masih sulit untuk menerima wanita yang berhijab, karena alasan yang sama seperti yang saya ceritakan di atas...eksklusifitas. Dengan sesama yang Muslimah saja ada gap...apalagi dengan keluarga besar saya? Berdasarkan sejarahnya saja sudah banyak sentimen kebencian SARA...

Terus apa yang membuat saya yang tadinya ogah berhijab jadi mau berhijab?
Pertama, karena sahabat saya, semua sahabat saya berhijab, tapi tidak pernah sekalipun mereka menyuruh saya untuk berhijab. Fyi, mungkin mereka tau, saya alergi banget yang namanya diatur-atur.
Sahabat-sahabat saya selalu ada saat saya susah maupun senang, tidak memandang apakah saya sudah berhijab atau belum. Mereka orang-orang yang lebih sibuk introspeksi diri sendiri dengan melakukan kebaikan-kebaikan daripada mencari kekurangan diri saya.
Sahabat-sahabat saya, wanita-wanita berhijab yang tangguh, stabil materi dan non materinya (secara perilaku).
Dan...mereka selalu terlihat cantik dengan hijabnya, fresh gak terlihat layu atau dekil.
Itu semua yang membuat saya juga tergoda untuk berhijab.

Kedua, karena anak saya. Ya, karena permintaan yang lucu dari anak sulung saya.
" Bu, nanti kalau ambil rapotku, ibu pakai jilbab aja ya. Biar ibu keliatan lebih serius dan tua "
Dengan kata lain, ibunya masih keliatan unyu-unyu...Hahaha, jadi ge-er ibunya.
" Oke, ibu berjilbab."
Rencananya, berhijab hanya untuk waktu bagi rapot atau Lebaran aja, masih ogah dipakai tiap hari.

Ketiga, karena suami. Masalah tentang berhijab ini, sudah sering kami diskusikan.
"Di Arab itu panas banget dan berpasir, wajar kalau perempuannya bahkan sampai bercadar".
Buat suami, karena kondisi sosiografis suatu negara lah, yang menyebabkan cara berpakaian berbeda-beda, dan unsur-unsur ini juga dimasukkan ke dalam kitab suci.
Suami saya tidak mempermasalahkan saya berhijab atau tidak, ia hanya lebih menekankan pada perilaku dan tidak mau terjebak stereotype. Karena seringnya ia bertemu dengan wanita berhijab yang cenderung memandang remeh wanita lain, semakin panjang hijabnya semakin sombong tingkah lakunya, semakin rajin berceramah (terutama di sosmed) tapi tetap juga suka bergosip...tidak bercermin. Di lain pihak, suami juga justru salut dengan temannya yang bercadar,  temannya tidak mengeksklusifkan diri, ramah dan rendah hati.
" Mau berkomunikasi, ramah dengan siapa aja. Makan bareng-bareng bersama teman-teman pun, baik laki-laki maupun perempuan, dia santai saja makan dengan tangannya dan tetap memakai cadar", cerita suami tentang temannya yang bercadar, sama baiknya seperti sahabat saya yang berhijab panjang.
"Tunjukkan saja, walaupun honey berjilbab atau gak berjilbab, tapi (tingkah laku) bisa lebih baik dari mereka". Itu inti pesan dari suami.

Yang keempat, adalah karena diri sendiri. Di usia saya yang tidak lagi muda dan sudah melahirkan empat orang anak, kenyamanan berpakaian itu jadi faktor penting.  Nyamannya berhijab itu, no more bad hair day dan dapat menyamarkan lipatan dan tonjolan anggota tubuh yang membuat saya gak PD.
Dulu saya gak suka melihat gamis atau gaun terusan, sekarang lebih suka pakai gamis atau rok karena tidak panas, tidak sesak di perut dan lebih praktis, terutama saat buang air hehe...
Dulu saya gak suka lihat hijab panjang dan bergo, kesannya kurang modis alias sebluk. Sekarang, jilbab panjang justru memberi privasi saat saya menyusui di mana saja. Bergo juga lebih praktis, karena bisa bertahan walau ditarik-tarik oleh krucil.
Saya juga masih suka pakai jilbab segiempat, pemakaiannya berganti-ganti disesuaikan dengan situasi.
Dengan berhijab itu, saya gak perlu repot dan cape-cape memperhatikan penampilan dari ujung rambut sampai ujung kaki. Tapi jangan salah ya... dengan berhijab, bukan berarti saya malas merawat penampilan, masalah kebersihan itu tetap nomer satu.

Kelima, karena lingkungan. Terkadang kalau lewat suatu tempat, seperti di pinggir jalan, terminal atau proyek bangunan, terdengar siulan atau ejekkan suara laki-laki, pandangan mereka saat saya berjalan melewati mereka...bahkan itu juga bisa terjadi saat saya bersama suami, rasanya gak nyaman dan aman.

Intermezo...apalagi pria Arab ya, yang konon katanya memiliki libido yang tinggi, tidak bisa melihat jempol kaki wanita secuil pun. Bandingkan dengan konon katanya, pria di negara kita yang sudah terbiasa melihat kaum wanita memakai kemben sebatas dada atau hanya sebatas pinggang.  Ini debatable, karena seharusnya baik pria Arab, Indonesia atau negara mana pun...pria yang kuat imannya itu, pria yang mampu menundukkan pandangan dan menahan nafsunya saat melihat wanita telanjang sekalipun, hehehe...

Maraknya kasus pelecehan seksual,  jadi tambahan pertimbangan saya untuk  berhijab. Dalam kasus ini, tidak sedikit pihak yang menyalahkan perempuan karena berpakaian seksi... Tapi pada kenyataannya, pelecehan seksual sampai pemerkosaan dapat terjadi pada perempuan yang berpakaian sopan dan berhijab. Saya tidak ragu untuk menyalahkan laki-laki sebagai pelaku kriminal dalam kasus ini, mereka-lah yang harus dihukum.

Itulah lima faktor yang memotivasi saya untuk berhijab. Dulu, sebelum saya berhijab, saya merasakan ditatap seperti " pendosa" atau diremehkan layaknya orang yang tidak mendapat hidayah... Sekarang, setelah saya berhijab, saya merasakan ditatap dengan pandangan "sok suci Lo". Pernah pula telinga saya mendengar orang menyebut saya, teroris...
Saya dan suami juga tidak suka ketika melihat berita, negara-negara yang menjunjung tinggi kebebasan dan HAM, memperbolehkan orang telanjang di pantai tapi melarang orang yang berburkini. Berita yang terbaru, wanita dipaksa membuka hijabnya di bandara, padahal di negara itu sendiri banyak biarawati yang berhijab. Menjunjung tinggi HAM, kebebasan, emansipasi wanita jadi seperti isapan jempol belaka.

Sudah cukupkah saya dengan berhijab?
Untuk pertanyaan yang ini, saya jadi teringat cerita teman saya yang bingung mengikuti pengajian di kompleks rumahnya.

" Saya lebih senang datang ke pengajian yang hari Sabtu, karena tidak ada dress code harus berhijab panjang seperti pengajian di hari Minggu. Tapi, kalau saya datang ke pengajian yang di hari Sabtu, ibu-ibu yang di pengajian hari Minggu akan memusuhi saya. Sementara kalau ikut pengajian yang hari Minggu, harus berhijab panjang, dan mereka biasa memakai baju dan hijab yang bagus-bagus...itu kan mahal, harga khimarnya saja bisa di atas seratus ribu...kalau saya pakai bajunya itu-itu saja...gak akan dipandang, diremehin."
Ikut pengajian, arisan, atau kumpul-kumpul saja bisa jadi dilema ya karena baju. Memang, seharusnya teman saya tidak mempedulikan masalah dipandang atau tidaknya karena pakaian.

Itulah salah satu kenyataan di dunia yang matrelialistis, terutama di dunia wanita. Baik berhijab maupun tidak, ada saja yang menilai dari segi materi. Saling bersaing, karena tidak enak dianggap miskin...atau saling bersaing karena ingin dianggap lebih baik. Pada akhirnya, semua kembali pada niat masing-masing...dan apa niat seseorang? Hanya dirinya dan Allah yang tau.

Mungkin banyak yang mempertanyakan dan protes, kok saya berhijab karena sahabat, anak, suami, diri sendiri dan lingkungan? Berhijab itu kan karena perintah Allah...

Buat saya, setiap manusia akan berproses dalam kehidupannya,  peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan akan menempa seseorang, seperti pengalaman- pengalaman yang saya alami...begitulah takdir saya berjalan.
Mungkin saja, ada wanita yang belum berhijab tapi memiliki banyak kebaikan dan Allah lebih menyukainya daripada wanita yang berhijab tapi menyimpan banyak keburukan yang tidak disukai Allah.
"Jangan berperilaku seperti Tuhan ketika melihat dosa-dosa umat, tapi berperilakulah seperti seorang hamba.", Kata ulama tersohor, Sayyidil Habib Umar bin Hafidz.

Dan juga,  masih banyak perintah-perintah Allah, selain tentunya dengan berhijab, yang menentukan keimanan seseorang, seperti:
cobalah berbicara jujur,  cobalah mencari rezeki yang halal, cobalah melunasi hutang, cobalah selalu bersyukur, cobalah berprasangka baik, cobalah mengasihi sesama..
Bukankah Rasulullah juga diutus-Nya, yang terutama adalah untuk memperbaiki akhlak?

Ternyata...antara berhijab dan berakhlak baik itu, tidak semudah yang kita pikirkan dan usahakan ya... tidak mudah buat saya juga.
Jadi, mari berhenti saling melabeli, mari sibuk introspeksi diri sendiri, terus berproses menjadi lebih baik. Semoga suatu saat kita semua berpulang dalam keadaan Khusnul khatimah.

Komentar

  1. Baguuuus banget mba ulasannya.. semoga semua muslimah, baik berhijab maupun yang tidak, tak henti untuk berproses. Karena berhijab bukan pertanda bahwa kita sudah baik, tapi salah satu tanda bahwa kita bersedia jadi lebih baik. Nice post mba Nonny :-D

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Komik Mimin Pinguin

Martabak Afo

Nyoto di Soto Santan Bang Ali, Yuk!