JIKA ANAK BERKATA KASAR

Hari ini dapat sharing ilmu lagi dari grup HS Generasi Rabbani.

Sharing tentang pengalaman Bpk. Ahmad Syarief, S. Psi sebagai trainer dan konselor Yayasan Kita dan Buah Hati yang menceritakan kekhawatiran seorang ibu karena anaknya sering berkata kasar saat sedang marah.

Walaupun sulit, akhirnya si anak mau diajak bicara. Setelah ditanya apa yang diinginkan dari orangtuanya, si anak menjawab sambil menguraikan air mata,
"Aku hanya ingin orang tuaku ngertiin aku."
Ia juga berkata bahwa ia tidak ingin disalahkan dan dibandingkan.

Selama ini, setiap ia menghadapi masalah, ia hanya berharap orangtuanya memberi dukungan, semangat, dan pelukan. Tapi hal itu tidak pernah terjadi. Pada akhirnya, rasa kesal, marah, dan benci menggunung, sampai meletuslah lava emosi kemarahannya sampai si anak menyimpan dendam pada orang tuanya.

Menurut Bpk. Ahmad Syarief, inilah yang disebut unfinished bussiness, saat kenyataan tidak sesuai dengan harapan, sehingga seringkali dapat menimbulkan masalah baru. Masalah ini diibaratkan seperti got mampet.

Saya dapat membayangkan jika got itu tersumpal kotoran yang kian lama kian menumpuk... lama-lama bisa banjir bandang.

Contoh:
Anak : Bu, masa tadi aku diejek sama temanku di depan kelas.

Ortu Keliru : Ya, kamunya mungkin ngeledek duluan. (Menyalahkan)
Coba kalo pendiem kaya kakak kamu pasti gak diejek. (Membandingkan)

Contoh lainnya (dari yg saya alami dan dengar sendiri), kadang sebagai orang tua pun tanpa sadar tetap melakukan kekeliruan itu sampai anaknya beranjak dewasa dan sudah menikah.

Ortu Keliru: Ya, kamu sih gajinya kurang besar. (Menyalahkan)
Coba seperti si A tuh yang sudah punya rumah dan mobil. (Membandingkan)

Komunikasi seperti di atas, menurut Bpk Ahmad Syarief, akan membuat anak diam dan merasa ortunya gak asyik. Mereka akhirnya mengumbar statusnya di medsos (cari perhatian).
Dalam bahasa saya, ortu seperti itu bikin males ngomong, akhirnya hubungan bisa cenderung dingin atau sering perang.

Sebaiknya, jika anak mendapat masalah, seperti diledek, ada baiknya orangtua menanyakan bagaimana perasaan si anak  atau ikut merasa simpati.

Contoh:
Ortu Benar : Ya Allah, malu ya kamu diejek teman? Malu banget ya?

Komunikasi ini biasanya akan membuat anak menjawab dan akan menceritakan/mengalirkan apa yang terjadi padanya (emosinya).

Saran beliau:

-biarkan emosi anak mengalir, anak akan belajar bahwa lawan bicaranya asyik, enak diajak ngobrol, dan bisa dibilang kekinian lah. Bukankah orangtua perlu hadir sebagai teman saat anaknya yg remaja?

-Meminta maaflah jika terlanjur keliru selama berkomunikasi dengan anak dan ubahlah cara kita berkomunikasi dengan anak yang beranjak remaja.

Menurut saya pribadi:
Anak kita masih proses belajar menjadi balita, abege, dan dewasa. Sementara kita sendiri masih terus belajar menjadi orang tua. Jadi, tidak ada yang sempurna, sebagai orang tua pun tidak luput dari kesalahan.

Lagi-lagi seringkali saya dengar orang tua mengeluh tentang anaknya: anaknya cuek, anaknya seperti orang asing, anaknya tidak menghormati, dan lain sebagainya... Lalu menyalahkan semuanya hanya pada si anak.

Cobalah dicek lagi, lihat dan terus pelajari bagaimana selama ini cara kita berkomunikasi dengan anak dan segeralah berubah

#YayasanKitadanBuahHati
#ParentingEraDigital

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Komik Mimin Pinguin

Martabak Afo

Nyoto di Soto Santan Bang Ali, Yuk!